Candi Cetho

 


Sejarah Candi Cetho 


Candi Cetho merupakan candi peninggalan kerajaan majapahit yang dibangun pada tahun 1452-1470 Masehi. Diyakini candi ini dibangun ketika Prabu Brawijaya V (raja terakhir Majapahit) memimpin. Dikatakan bahwa pembangunan candi ini dilakukan ketika Majapahit mengalami kemunduran karena gejolak politik yang panas.

Candi yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar ini dinamakan Candi Cetho yang artinya ‘jelas’. Hal tersebut kemudian dimaknai bahwa ketika seseorang berada di Candi Cetho maka pandangannya akan menjadi jelas karena bisa melihat seluruh penjuru dari ketinggian.

Bangunan Candi Cetho sendiri merupakan sebuah simbol toleransi beragama yang kuat pada masa Majapahit. Fungsi utama Candi Cetho pada masa lalu adalah sebagai tempat untuk menyucikan diri atau ruwat. Hal itu tercermin dalam tulisan Jawa Kuno yang berada di teras ketujuh atau yang disebut dengan Pendopo Ndalem.

Candi Cetho kemudian ditemukan kembali pada tahun 1842 oleh seorang bernama Van de Villes. Setelahnya, kemudian dilakukan ekskavasi dan rekonstruksi candi yang terpendam pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie voor Oudheid Dienst) Hindia Belanda.




Dataran Tinggi Dieng



Sejarah Dataran Tinggi Dieng 

 Dataran Tinggi Dieng merupakan dataran tinggi yang tertinggi kedua didunia setelah Tibet / Nepal, dan yang terluas di Pulau Jawa. Dieng terletak pada posisi geografis 7’ 12’ Lintang Selatan dan 109 ‘ 54’ Bujur Timur, berada pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 m dpl. Secara administratif, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Hingga tahun 1990-an wilayah ini tidak terjangkau listrik dan merupakan salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah.

Letaknya yang juga berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut.

Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas (“embun racun”) karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucutnya terdiri dari : Bisma, Seroja, Binem, Pangonan Merdada, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil Sikuunir dan Prambanan. Lapangan fumarola terdiri atas Kawah Sikidang, kawah Kumbang, kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah Sileri.




Masjid Agung Jawa Tengah

 


Sejarah Masjid Agung Jawa Tengah 

Masjid Agung Semarang dibangun pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2006, diresmikan oleh Presiden ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 November 2006.

Masjid Agung Jawa Tengah dibangun pada tahun 2002. Pembangunan masjid ini dilakukan di atas tanah wakaf Ki Ageng Panandaran II, Bupati pertama Semarang. Untuk memudahkan proses pembangunan, Gubernur Jawa Tengah saat itu, Mayjend Mardiyanto, langsung turut serta dalam pembangunan masjid ini.

Akhirnya Masjid Agung Jawa Tengah diresmikan untuk umum pada tanggal 14 November 2006 oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Meski peresmiannya baru dilakukan pada tanggal 14 November 2006, masjid ini telah beroperasi untuk beribadah jauh sebelum tanggal tersebut, tepatnya sejak tahun 2004



Candi Gedong Songo




Sejarah Candi Gedong Songo 


telah dibangun sejak abad ke tujuh masehi saat kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Candi di kompleks ini adalah candi Hindu yang dibangun dengan tujuan sebagai tempat pemujaan.

Candi Gedong Songo merupakan kompleks candi yang berlokasi di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Semarang, Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Ungaran.

Ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1804, candi ini merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra pada tahun 927 M. 

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya raja adalah yang membangun Candi Gedong Songo pada awal pemerintahannya.

Adanya arca Siwa Mahakala, Siwa Mahaguru, dan Ganesha menjadi bukti bahwa Candi Gedong Songo digunakan sebagai tempat pemujaan dewa.

Mulanya hanya ditemukan tujuh buah bangunan candi di sini, sehingga dinamakan Candi Gedong Pitu yang berarti ‘Candi Tujuh Gedung’

Kemudian pada sekitar tahun 1908 hingga 1911, arkeolog asal Belanda bernama Van Stein Callenfels menemukan dua bangunan candi tambahan. 

Sejak saat itu, namanya berubah menjadi Candi Gedong Songo yang bermakna ‘Candi Sembilan Gedung’.

Sejauh ini, Candi Gedong Songo telah dipugar sebanyak dua kali. 

Pemugaran pertama dilaksanakan tahun 1930-1931 oleh pemerintah Belanda. Pemugarannya berfokus pada pencarian batu-batu yang hilang dan pemasangan kembali bagian candi yang sempat dibongkar.

Pemugaran kedua dilakukan pada tahun 1978-1983 lewat Proyek Pembinaan, Pemugaran, dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Pemugaran dilakukan di Candi Gedong IV (1978), Candi Induk dan Perwara Gedong III (1979), serta Candi Gedong V (1983).





Gua Maria kerep

 



Sejarah 


Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) termasuk pendahulu bagi munculnya gua-gua Maria di Indonesia setelah Gua Maria Sendangsono di Kabupaten Kulonprogo (DIY) dan Gua Maria Sriningsih di Kabupaten Klaten Jawa Tengah.

Gua yang didirikan tahun 1954 ini lahir dengan sejarah yang sangat sederhana dan juga tidak berdasarkan suatu penampakan.

Meski demikian gua ini tak dapat dikatakan terjadi secara kebetulan. Semuanya terjadi pasti karena kehendak Tuhan yang sudah mempunyai rencana bagi umat manusia di Ambarawa khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

Kelahiran GMKA tak bisa lepas dari seorang berwarganegara Belanda yang bertugas sebagai pengelola perkebunan di sekitar Ambarawa yang telah mempersembahkan tanah dan rumahnya kepada Gereja. Oleh Gereja tanah dan rumah ini diberikan kepada Kongregasi Bruder Para Rasul atau Bruder Apostolik.

Kongregasi ini didirikan oleh Mgr Albertus Soegijapranata dan beranggotakan orang-orang pribumi serta berstatus sebagai kongregasi keuskupan. Sayang kongregasi ini tidak dapat bertahan lama karena tak ada lagi peminatnya hingga akhirnya dibubarkan. Di tanah biara inilah Gua Maria Kerep Ambarawa didirikan.

Pembangunan GMKA juga terkait erat dengan surat gembala Sri Paus pada tahun 1954. Surat gembala itu berisi tentang penetapan tahun itu sebagai Tahun Maria dalam rangka pengenangan 100 tahun usia dogma "Maria Terkandung Tanpa Noda". Surat Gembala tersebut menghimbau agar semua paroki menyelenggarakan peringatan sebagai penghormatan kepada Bunda Maria.

Mantan Direktur Kongregasi Bruder Apostolik, Romo J Reijnders yang saat itu menjadi pastor Paroki Santo Yusuf Ambarawa kemudian menghimbau umat untuk menyelenggarakan perayaan penghormatan kepada Bunda Maria.

Dan ketika seorang pastor, yakni Romo Bernardinus Soemarno SJ bertandang ke pasturan, Romo Reijnders sempat melakukan sharing tentang kegiatan dalam rangka perayaan pesta Maria ini. Oleh Romo Bernardinus Soemarno SJ lalu disarankan agar dibuat sebuah gua sebagai tempat devosi kepada Bunda Maria.

Ide Romo Bernardinus Soemarno SJ ini kemudian segera direalisasi pada tahun itu juga, yakni tahun 1954. Siswa-siswi sekolah guru yang tinggal di Asrama Bruderan dan Susteran Ambarawa dikerahkan untuk mengumpulkan batu dari sungai Panjang dan dikumpulkan di kebun Bruderan Apostolik Kerep. Menurut Rm Reijnders, Bruder FX Woerjoatmodjo SJ yang waktu itu menjadi kepala asrama dan tinggal di Pastoran Ambarawa ikut memimpin anak-anak. "Dia sangat aktif dan sangat disenangi anak-anak," tutur Romo Reijnder


Kota lama semarang

 


Kota Lama Semarang 


Diawali dari penandatangan perjanjian antara kerajaan mataram dan VOC pada 15 Januari 1678. Kala itu Amangkurat 2 menyerahkan Semarang kepada pihak VOC sebagai pembayaran karena VOC telah berhasil membantu Mataram menumpas pemberotakan Trunojoyo Setelah Semarang berada di bawah kekuasaan penuh VOC, kota itu pun mulai dibangun. Sebuah benteng bernama Vijfhoek yang digunakan sebagai tempat tinggal warga Belanda dan pusat militer mulai dibangun. Lama kelamaan benteng tidak mencukupi sehingga warga mulai membangun rumah di luar sebelah timur benteng. Tak hanya rumah-rumah warga, gedung pemerintahan dan perkantoran juga didirikan.

Pada tahun 1740-1743 terjadilah peristiwa Geger pacinan, perlawanan terbesar pada kurun waktu kekuasaan VOC di Pulau Jawa. Setelah perlawanan tersebut berakhir dibangunlah fortifikasi mengelilingi kawasan Kota Lama Semarang. Setelahnya karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kota yang makin pesat, fortifikasi ini dibongkar pada tahun 1824. Untuk mengenang keberadaan banteng yang mengelilingi kota lama, maka jalan-jalan yang ada diberi nama seperti Noorderwalstaat (Jalan Tembok Utara-Sekarang Jalan Merak), Oosterwalstraat (Jalan Tembok Timur – Sekarang Jalan Cendrawasih), Zuiderwalstraat (Jalan Tembok Selatan-Sekarang Jalan Kepodang) dan juga Westerwaalstraat (Jalan Tembok Barat-Sekarang Jalan Mpu Tantular).[1]








Museum batik danar hadi

 



Sejarah Batik Danar Hadi 


Museum Batik Danar Hadi didirikan pada tahun 2008 oleh PT Batik Danar Hadi, produsen batik terkemuka di Solo. Pendirian museum ini tidak lepas dari sejarah panjang Batik Danar Hadi itu sendiri yang mulai beroperasi sejak tahun 1967. Awalnya Danar Hadi merupakan industri batik rumahan yang sudah turun temurun. Dua tokoh pendirinya adalah Sansosa Doellah dan istrinya Danarsih Hadipriyono. Keduanya berasal dari keluarga pengusaha batik yang sudah beroperasi sejak lama. Santosa dan Danarsih menikah pada tahun 1967. Keduanya lantas merintis usaha batik seperti orang tua mereka dengan nama Danarsih Hadipriyono. Modal awal pembuatan batik ini dari kain mori dan kain tenun hadiah pernikahan mereka. Sedangkan lokasi kantor dan sanggarnya berada di rumah mereka. 

Baik Santosa maupun Danarsih memiliki keahlian yang bisa menunjang bisnis batik. Santosa cakap dalam mendesain batik, sedangkan istrinya menguasai desain garmen. Pada tahun 1975, Danar Hadi mulai mengembangkan usaha dengan membuka toko kecil di Jakarta. Sejak saat itu, toko-toko mulai dibuka di beberapa kota, seperti Bandung, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang

Bangunan utamanya merupakan Ndalem Wuryaningratan, yang dulunya merupakan kediaman Pangeran Wuryaningrat. Wuryaningrat merupakan cucu Pakubuwono IX sekaligus menantiu dari Pakubuwono X.








Gedung lawang sewu

 


Gedung Lawang Sewu 


Pada tahun 1864 ketika Belanda melakukan pembangunan jalur kereta api di Indonesia, Belanda mulai merancang jalur kereta api Semarang-Solo-Yogyakarta dan Kedungjati-Ambarawa. NIS merupakan perusahaan yang bertanggungjawab dalam membangun jalur kereta api ini. Dimulai dari tahun 1864 hingga 1867, pada awalnya pembangunan jalur kereta api ini difungsikan sebagai penghubung antara Semarang sebagai bandar pelabuhan dan industri dengan wilayah pedalaman sebagai penghasil bahan mentah berupa hasil perkebunan dari Solo dan Yogyakarta. Dengan adanya perkembangan teknologi membuat NIS sukses besar dan mengharuskan memiliki kantor sendiri.

Kantor yang akan mereka bangun adalah sebuah kantor urusan administrasi yang nantinya terletak di Jalan Pemuda. Pada tahun 1904 dimulailah proses pembangunan gedung administrasi perkantoran kereta api oleh J.F. Klinkhamer dan B.J. Queendag sebagai koordinator perencanaan, serta memilih Cosman Citroen sebagai arsitek untuk gedung tersebut. Pembangunan gedung ini berakhir pada tahun 1918.

Ketika memasuki masa penjajahan Jepang, bangunan Lawang Sewu berubah menjadi Kantor Ryuku Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang). Selain menggunakan kantor transportasi, Jepang juga menggunakan ruang bawah tanayh Lawang Sewu sebagai penjara dan tempat eksekusi mati. Kemudian pada Oktober 1945, Belanda ingin mengambil alih kembali wilayah Semarang sehingga menimbulkan perang dan memaksa Jepang mundur.

Setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan gedung Lawang Sewu berubah menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Namun, memasuiki tahun 1946 ketika Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Semarang, DKARI harus berpindah ke bekas kantor de Zustermaatschappijen kareba gedung Lawang Sewu dimanfaatkan Belanda untuk menjadi marka Belanda.


Pada tahun 1994 dilakukan penyerahan ke PT. KAI dan dilakukan restorasi gedung Lawang Sewu pada tahun 2009. Pada tahun 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono meresmikan gedung Lawang Sewu yang kini menjadi destinasi wisata sejarah perkereta apian di Indonesia.



Candi Prambanan


 

Candi Borobudur

 





Sejarah Singkat Candi Borobudur 



berkaitan dengan masuknya agama Buddha di Indonesia seperti dikutip dari e-Modul Mengenal Arsitektur Tradisional Indonesia karya Arifin Suryo Nugroho.

Candi Borobudur dibangun oleh para penganut Buddha Mahayana pada masa kejayaan Dinasti Syailendra. Borobudur pertama kali dibangun atas inisiatif Raja Samaratungga sekitar tahun 824 Masehi.

Meski begitu, Candi Borobudur selesai dibangun menjelang tahun 900 Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani, putri Raja Samaratungga. Arsitek yang berjasa dalam merancang candi tersebut ialah Gunadharma.

Kabarnya, kemegahan Borobudur sempat sirna berabad-abad terkubur tanah dan debu vulkanik yang diperkirakan efek erupsi Gunung Merapi.

Namun, candi tersebut berhasil direstorasi kembali oleh pemerintahan Thomas Stamford Raffles saat menjabat Gubernur Jenderal di Pulau Jawa tahun 1911.

Kala itu Raffles meminta bantuan Insinyur Belanda Christian Cornelius untuk memeriksa kondisi bangunan Candi Borobudur yang terkubur dan membenahinya.

Candi Borobudur dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 1991 karena beragam alasan di antaranya merupakan kompleks candi terbesar di Indonesia.



Video Tur